YOGYAKARTA – Dalam suatu kesempatan rapat kabinet tahun lalu, Presidem Joko Widodo secara khusus meminta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk membuat kajian mengenai tiga hal, yaitu pertama Bonus Demografi, kedua stunting, dan yang terakhir mengenai disabilitas. Presiden mengharapkan dengan adanya kajian-kaijian yang memetakan ketiga isu tersebut, dapat menjadi acuan yang akan sangat membantu penerus pemerintahan pada 2024 nanti, sebagai roadmap yang harus dilanjutkan dan dikembangkan.
Melaksanakan tugas dari presiden tersebut, maka terkait bonus demografi Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN Nawawi bersama dua peneliti melakukan wawancara mendalam (indepth) kepada Kepala Perwakilan BKKBN DIY Shodiqin di kantornya Rabu, (21/06/2023).
Proyek penelitian dengan judul “Strategi Optimalisasi Bonus Demografi untuk Mencapai The Window of Opportunity 2030 (Studi di tingkat Nasional dan Provinsi DIY, Jawa Tengah, NTT dan NTB)” ini dilaksanakan oleh BRIN bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK-UGM).
Bonus demografi merupakan kondisi dimana terjadi pertumbuhan populasi yang didominasi oleh kelompok usia produktif, sehingga melebihi populasi kelompok usia non-produktif. Maka sesuai sebutannya, kondisi ini merupakan bonus yang memberikan dampak positif bagi suatu bangsa karena beban atau tanggungan kelompok usia muda menjadi ringan, apalagi bila para lansianya sebagian besar mandiri secara ekonomi sehingga mampu menanggung dirinya sendiri. Dalam kondisi seperti ini maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat pesat, kesejahteraan bangsa secara keseluruhan meningkat pula, yang dikenal sebagai window of opportunty yang bisa diterjemahkan secara bebas menjadi kesempatan emas.
Keempat provinsi tersebut dipilih sebagai lokus penelitian dengan pertimbangan bahwa DIY sebagaimana DKI Jakarta lebih awal melewati fase bonus demografi dibanding provinsi lainnya, walau puncaknya masih di tahun 2030 nanti. Sedangkan Jawa Tengah dipilih mewakili wilayah yang akan menikmati bonus demografi pada pertengahan fase, dan NTB pada akhir fase atau paling lambat dibanding DIY dan Jawa Tengah.
Sedangkan NTT berdasarkan perhitungan data TFR, pertumbuhan penduduk dan lainnya diperkirakan menjadi provinsi yang tidak akan mengalami bonus demografi. Walaupun perkembangan data terakhir yang baru didapatkan menunjukkan bahwa NTT akhirnya akan berkesempatan menikmati bonus demografi, namun tetap menarik untuk dikaji keterlambatan pencapaian oleh provinsi ini.
“Jadi maksud kedatangan kami adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai bonus demografi di Jogja dikaitkan dengan program-program BKKBN,” demikian Nawawi memberikan pengatarnya sebelum pihaknya bersama dua peneliti yaitu Sonyaruri Satiti dan Mugia Bayu menggali lebih dalam dengan serangkain pertanyaan yang telah disipakan sebelumnya sebagai pengarah jalannya diskusi dan penggalian informasi dari Kepala Perwakilan BKKBN DIY yang didampingi oleh Sekretaris Perwakilan Zainal Arifin dan Penata Kependudukan dan KB Ita Suryani.
Selain menggali data dan berdiskusi dan mendapatkan informasi kebijakan kependudukan di Yogyakarta, lebih khususnya yang berkaitan dengan bonus demografi, Nawawi juga akan turun ke lapangan menggali informasi dan data mengenai kondisi demografi DIY dari masyarakat dan para pemangku kepentingan yang terkait.
Nawawi juga menyampaikan bahwa salah satu yang khas dari DIY adalah jumlah lansianya termasuk diantara yang paling tinggi dan angka kemiskinan yang terbesar di Jawa, namun indeks kebahagiaan termasuk tinggi sekaligus indikator dan capaian program kependudukan sangat baik.
“Dari keempat case study tersebut kita akan mencari model-model (kebijakan) yang bagus seperti apa, sehingga nanti provinsi lain bisa belajar dari Jogja” tambah Nawawi.
Sementar itu mengenai angka TFR DIY yang termasuk tiga terendah besama Bali dan DKI apakah berkaitan dengan obyek penelitian ini Kepala Perwakilan Shodiqin mempersilahkan para peneliti BRIN untuk mengkajinya. Angka TFR DIY saat ini berkisar pada 1,89 yang artinya rata-rata wanita Jogja sepanjang hidupnya hanya melahirkan kurang dari dua. Walau angka TFR rendah, namun anehnya anka Unmet Need (kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi) malah tinggi.
“Bahkan pakar kependudukan UGM Doktor Sukamdi mengkhawatirkan jika tidak diambil upaya dikhawatirkan TFR DIY bisa terus turun sampai 1,6 yang tentunya berdampak tidak baik bagi perkembangan dan kemajuan DIY” Shodiqin menegaskan dan mempersipahkan untuk dikaji bentuk intervensi yang tepat.
Status Keistimewaan DIY juga menarik untuk diteliti dikaitkan sejauh mana BKKBN DIY mengambil manfaat dari keistimewaan berbasis kebudayaan atau culture tersebut.
“Figur raja atau sultan sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus figur panutan secara budaya terbukti memberikan kestabilan jalannya pemerintahan yang berimbas pada kestabilan sosial politik dan ekonomi” terang Shodiqin.
BKKBN DIY juga memperoleh keuntungan dengan keterlibatan aktif putri tertua sultan GKR Mangkubumi yang sempat menjadi ketua Badan Pengurus Daerah Asosiasi Koperasi UPPKA DIY. UPPKA singkatan dari Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor yang dibentuk dan dibina BKKBN. Bahkan sekarang GKR Mangkubumi telah berkiprah sebagai ketua di kepengurusan nasional, dan digantikan oleh adik bungsu yaitu GKR Bendara. Bahkan suami GKR Bendara juga aktif dalam pembinaan Generasi Berencana (Genre) dan telah ditetapkan sebagai Ayah Gendre.
“Jadi karena secara kultural keluarga raja merupakan panutan, maka lancarlah kegiatan kita di lapangan dengan keterlibatan para putri dan mantu raja tersebut” tegas Shodiqin.
Sejumlah inovasi yang dirintis DIY yang disampaikan Shodiqin seperti Sekolah Lansia dan program Dapur Balita Sehat di setiap Posyandu yang dikembangkan Pemerintah Kota Yogyakarta dan Perwakilan BKKBN DIY telah mendapatkan apresiasi BKKBN Pusat dan diadopsi sebagai program untuk seluruh provinsi di Indonesia menjadi Program DASHAT atau Dapur Sehat Atasi Stunting. Hal tersebut menarik perhatian para peneliti BRIN akan melihatnya lebih dalam. (DSY/ADPIN)